Friday, August 04, 2006

"Perang" Sebuah Novel Subkultur

PerangJudul Buku: Perang
Penulis: Rama Wirawan
Penerbit: Jalasutra
Tahun Terbit: 2005
Halaman: xxiii + 176 hlm. (12 x 19 cm)
ISBN: 979-3684-44-5

Sewaktu ke Bandung bersama teman's (Erik, Jagung, Dody) come to The Exploited Indonesian Tour, secara gak sengaja saya melihat dan mengambil zine gratisan di sebuah toko CD 2nd di kawasan Dipati Ukur, zine itu namanya "Subciety" sebuah D.I.Y zine, didalamnya ada Interview dengan Rama Wirawan seorang Penulis Novel "Perang" dan drumer dari band cadas "Bahasa Bayi". Usianya di bulan July ini genap 24 tahun. "Perang" bukan novel pertamanya. Saat masih mengenakan seragam putih-biru pun ia pernah membuat "Solat" sebuah novel humor yang hanya untuk teman-teman sekelasnya. Ok kembali ke Interview.... Interviewnya sangat menarik karena ada beberapa argumen tentang "kelas" dan pemikiran Neolib/Globalisasi. Sepulang dari bandung saya memesan novel ini dari sebuah situs web (IniBuku.Com). Tokoh centralnya ialah Perang Hayat, seorang fresh graduate, sempat nganggur beberapa bulan dan akhirnya diterima kerja di sebuah perusahaan printing. Walaupun hubungan dengan rekan kerjanya kering, egosentrik dan penuh dengan pamrih serta dibawah tuntutan akan produktivitas yang menyerobot habis waktu dan privacy-nya.

Dibawah kegelisahan tersebut Perang (yang juga dipanggil "Hayat" oleh ibu-nya) bertemu dengan Deni, Deni teman kantor seorang penikmat musik punk yang juga seorang pemberontak or Anarkis (dalam versi seorang Deni). Kenapa selalu Punk sebagai actor dibelakang anarkis n pemberontakan? Bukankah music blues n jazz juga terlahir dari pemberontakan? Tetapi mungkin punk mempunyai scene D.I.Y dan kultur anarkis yang kental bukan sekedar wacana tetapi juga direct action. Dalam kegelisahan itu juga dia menemukan sosok wanita yang jauh dari type wanita di abad 20 ini yang hype dengan sosok modis dan tidak peka lingkungan (no sexism here!), seseorang yang muncul secara tidak sengaja, cocok, dan akhirnya bersatu di usia muda, dan tetap aktif dengan membuat "Manifesto Perang Terakhir".

Secara keseluruhan jalan ceritanya berjalan lurus (lempeng!) tanpa ada kejutan yang nyeleneh dari sebuah subkultur, tetapi begitu banyak bertaburan dengan kalimat-kalimat atau gagasan-gagasan milik Jean-Paul Sartre, Albert Camus, Pierre-Joseph Proudhon, Karl Marx, Dom Helder Camara, Adam Smith, hingga John Maynard Keynes. Semuanya tersedia, termasuk penjelasan-penjelasan tentang apa itu "kelas", DIY (Do It Your Self!), gig, anarki, globalisasi, liberalisme, sampai neoliberalisme.

Mungkin novel ini bisa mewakili pola pikir kritis seorang punkers yang acap kali selalu dicap gak bermoral dan terlalu kebarat-baratan (apa yang ketimur-timuran mau untuk berpikir untuk bangsa ini? jangan tanyakan apa yg bangsa ini lakukan untukmu, tetapi apa yang kau lakukan untuk bangsamu?). Ending untuk menyerah pada keadaan untuk tetap bekerja di suatu perusahaan walaupun melakukan resist dengan menyebarkan "Manifesto Perang Terakhir" tetap saja terasa realistis dengan keadaan tanah air. Sebuah novel yang melabeli diri dengan kata "subkultur" penuh dengan propaganda dan ending yang "sweet", ringan, tetapi mengajak kita berpikir. Top banget, semoga semakin banyak penulis kritis seperti Rama. Sepakat untuk tidak sepakat, tolak Globalism sekarang Juga!

[ Terimakasih untuk Imam Hidayah Usman, Sindikat Kerja Taman Bunga Jatinangor. Untuk resensi-nya yang oke banget. "Cinta Itu... Subversif!" ]

2 comments:

Maria said...

buku yang ga gw mengerti, mungkin gw agak2 t.u.l.a.l.i.t ma gaya bahasanya hehehehheee...

Peter said...

its ok, thx udh berusaha baca.. at least u try darl..